Rindu ini perlahan datang tanpa Assalamualaikum
Ususku yang semula tenang menghadapi mahligai hiruk pikuk catering kantor mulai membludak, layaknya busa cucian yang Rinso nya kebanyakan.
Bulukuduk ku pun demikian. Ratusan setan-setan yang berkonser di film bioskop selama ini tak mampu memberdirikannya. Namun kali ini mereka berdiri, berjingkrak, seolah tengah membaur dengan simfoni musik TikTok.
Aku rindu senyumnya saat dengan mudahnya menabrak pandanganku, atau tatapan tajamnya yg kerap ingin berkamuflase dengan tatapanku namun selalu ku hindari. Pun dengan pembawaannya yang santuy, tiap kuajak berlayar dengan perahu biadab tanpa dayung dan layar, namun mulai terlihat sekarat dan kejang-kejang ketika perahunya mulai berjoget ubur-ubur.
Aku rindu berlagak sok kuat, saat ribuan rintik hujan menggelitik leher dan jidatku yang kini mulai ada ukiran kerutan padahal masih 23 tahun. Lalu berkelana di jalanan yang banyak tersebar restoran surga dunia berwujud angkringan-angkringan nasi kucing di pinggir-pinggirnya. Kemudian ku pesan segelas susu jahe yang entah kenapa terlontar dari lidahku itu minuman favorit padahal sebelumnya engga.
Pun demikian dengan wedang ronde, makelor, mie goreng, cumi, dan... Ahh banyak makanan minuman favorit yang secara ghoib tiba-tiba muncul melalui sela-sela gigi gerahamku dan terlontar lewat bibirku yg kini kering kerontang dengan taburan topping sariawan.
Rindu itu juga tiba-tiba menyelimuti tubuh cungkringku yang makin hari tonjolan ujung tulang-tulangnya makin terlihat. Mungkin bila ditimbang dengan 5000 buah layang-layang, kami seimbang.
Atau ketika dia pergi ke pucuk tertinggi daerah Karanganyar, berbekal sebotol aqua besar dan tabung gas. Entah lari atau terbang, lalu hinggap di sepatuku yg kedinginan di luar tenda tanpa selimut tanpa penghangat ruangan. Dingin malam itu menggelitik kami, yg kemudian larut di malam Lawu yg saat itu berkacak pinggang bersama kabut yg brutal.
Aku rindu dengan sepatu bututnya, yg ternyata harganya 23x harga gitarku, karena gitarku harganya gratis dapet dari giveaway.
Ahh rindu apa lagi yang bisa ku pamerkan. Kalut sudah otak ini. Kadang ide brutal muncul begitu saja di semak semak saraf neorik ku. Seperti ketika angka 24 menjadi angka kebanggaannya ketika menulis biodata pendafataran pada kolom umur. Aku tak ada bunga. Mawar, melati, raflesia, atau apalah itu. Juga Cadburry, Silverqueen, Chaca, dan juga jarum coklat. Maaf, bila dia mendamba dambakan peran wanita dalam drakor berjudul Maried Cople, aku tak bisa seromantis wanitanya. Aku hanya punya jelly. 3 buah. Rasa coklat, coklat, dan jeruk. Ku bungkus rapi, dengan kertas sisa kamar sebelah, dan isolasi milik kamar sebelahnya lagi.
Bungkus deh.
Simple. Atau itu kata yg sudah kuperhalus sehalus halusnya dari sebuah kata 'nggak modal' . Ahh... pasti WA ku sudah penuh ribuan text wkwkwkwkwk bila ku share di status WA yg ibu dan bapakku sudah ku hiden. Untungnya tidak. Malu soalnya.
Paling hanya teman asoyku saja yg selalu jadi korban tag tag an ku di postingan giveaway instagram tapi ngga pernah ku bagi hadiahnya bila ku menang. Sotoy emg. Gw
Oh ada lagi, saat sayur lodeh secara kilat menemuiku di depan masjid usai lelahku bercumbu dengan mesin laser seharian. Ku makan. Hambar.
Namun kata kata manis ku lontarkan saja, dengan bumbu bumbu kelezatan yang kukatakan padanya. Karna nyatanya, yg gratis selalu enak. Walau nyatanya hambar. Haha
Wadahnya kini kosong. Andai aku bisa menjelma menjadi chef Juna, pasti sudah ku isi dengan masakan lezat nan mewah khas Italy semi Spanyol. Makelor.
Ahh... Namun aku mager. Bila harus berkutat dengan bawang, cabe, ketumbar, kemiri, dan, micin. Ribet.
Ya sudah. Ku cari saja mentahanya. Bahannya saja. Yang masih hidup. Biar dia goreng sendiri. Kan pinter masak. Katanya. Pikiranku melayang layang. Apa yah bahannya. Karena aku ngga mau pusing, ya sudah kubeli saja. Ikan. Jenisnya cupang.
Ternyata tak segampang mencari jodoh lur. Kuputar putar keliling kota. Bila ada delman mungkin sudah kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja mengendarai kuda supaya baik jalannya. Duk jedag jedug jedag jedug jedag jedug
Ahh cupang biadab. Dimana aku bisa menemukanmu
Belok kiri sebelah keraton. Setidaknya itu yang berhasil ku tangkap dari peta sakti Google yang lebih sakti ketimbang peta Dora. "Toko Cupang Terdekat". Itu yang aku ketik dibagian kolom searching.
Ususku yang semula tenang menghadapi mahligai hiruk pikuk catering kantor mulai membludak, layaknya busa cucian yang Rinso nya kebanyakan.
Bulukuduk ku pun demikian. Ratusan setan-setan yang berkonser di film bioskop selama ini tak mampu memberdirikannya. Namun kali ini mereka berdiri, berjingkrak, seolah tengah membaur dengan simfoni musik TikTok.
Aku rindu senyumnya saat dengan mudahnya menabrak pandanganku, atau tatapan tajamnya yg kerap ingin berkamuflase dengan tatapanku namun selalu ku hindari. Pun dengan pembawaannya yang santuy, tiap kuajak berlayar dengan perahu biadab tanpa dayung dan layar, namun mulai terlihat sekarat dan kejang-kejang ketika perahunya mulai berjoget ubur-ubur.
Aku rindu berlagak sok kuat, saat ribuan rintik hujan menggelitik leher dan jidatku yang kini mulai ada ukiran kerutan padahal masih 23 tahun. Lalu berkelana di jalanan yang banyak tersebar restoran surga dunia berwujud angkringan-angkringan nasi kucing di pinggir-pinggirnya. Kemudian ku pesan segelas susu jahe yang entah kenapa terlontar dari lidahku itu minuman favorit padahal sebelumnya engga.
Pun demikian dengan wedang ronde, makelor, mie goreng, cumi, dan... Ahh banyak makanan minuman favorit yang secara ghoib tiba-tiba muncul melalui sela-sela gigi gerahamku dan terlontar lewat bibirku yg kini kering kerontang dengan taburan topping sariawan.
Rindu itu juga tiba-tiba menyelimuti tubuh cungkringku yang makin hari tonjolan ujung tulang-tulangnya makin terlihat. Mungkin bila ditimbang dengan 5000 buah layang-layang, kami seimbang.
Atau ketika dia pergi ke pucuk tertinggi daerah Karanganyar, berbekal sebotol aqua besar dan tabung gas. Entah lari atau terbang, lalu hinggap di sepatuku yg kedinginan di luar tenda tanpa selimut tanpa penghangat ruangan. Dingin malam itu menggelitik kami, yg kemudian larut di malam Lawu yg saat itu berkacak pinggang bersama kabut yg brutal.
Aku rindu dengan sepatu bututnya, yg ternyata harganya 23x harga gitarku, karena gitarku harganya gratis dapet dari giveaway.
Ahh rindu apa lagi yang bisa ku pamerkan. Kalut sudah otak ini. Kadang ide brutal muncul begitu saja di semak semak saraf neorik ku. Seperti ketika angka 24 menjadi angka kebanggaannya ketika menulis biodata pendafataran pada kolom umur. Aku tak ada bunga. Mawar, melati, raflesia, atau apalah itu. Juga Cadburry, Silverqueen, Chaca, dan juga jarum coklat. Maaf, bila dia mendamba dambakan peran wanita dalam drakor berjudul Maried Cople, aku tak bisa seromantis wanitanya. Aku hanya punya jelly. 3 buah. Rasa coklat, coklat, dan jeruk. Ku bungkus rapi, dengan kertas sisa kamar sebelah, dan isolasi milik kamar sebelahnya lagi.
Bungkus deh.
Simple. Atau itu kata yg sudah kuperhalus sehalus halusnya dari sebuah kata 'nggak modal' . Ahh... pasti WA ku sudah penuh ribuan text wkwkwkwkwk bila ku share di status WA yg ibu dan bapakku sudah ku hiden. Untungnya tidak. Malu soalnya.
Paling hanya teman asoyku saja yg selalu jadi korban tag tag an ku di postingan giveaway instagram tapi ngga pernah ku bagi hadiahnya bila ku menang. Sotoy emg. Gw
Oh ada lagi, saat sayur lodeh secara kilat menemuiku di depan masjid usai lelahku bercumbu dengan mesin laser seharian. Ku makan. Hambar.
Namun kata kata manis ku lontarkan saja, dengan bumbu bumbu kelezatan yang kukatakan padanya. Karna nyatanya, yg gratis selalu enak. Walau nyatanya hambar. Haha
Wadahnya kini kosong. Andai aku bisa menjelma menjadi chef Juna, pasti sudah ku isi dengan masakan lezat nan mewah khas Italy semi Spanyol. Makelor.
Ahh... Namun aku mager. Bila harus berkutat dengan bawang, cabe, ketumbar, kemiri, dan, micin. Ribet.
Ya sudah. Ku cari saja mentahanya. Bahannya saja. Yang masih hidup. Biar dia goreng sendiri. Kan pinter masak. Katanya. Pikiranku melayang layang. Apa yah bahannya. Karena aku ngga mau pusing, ya sudah kubeli saja. Ikan. Jenisnya cupang.
Ternyata tak segampang mencari jodoh lur. Kuputar putar keliling kota. Bila ada delman mungkin sudah kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja mengendarai kuda supaya baik jalannya. Duk jedag jedug jedag jedug jedag jedug
Ahh cupang biadab. Dimana aku bisa menemukanmu
Belok kiri sebelah keraton. Setidaknya itu yang berhasil ku tangkap dari peta sakti Google yang lebih sakti ketimbang peta Dora. "Toko Cupang Terdekat". Itu yang aku ketik dibagian kolom searching.
Ahh.. Otakku bergema. Kala ku tahu harga 1 ekornya. Aku kira seharga kuota 30 GB Smartfren Unlimited. Ternyata tidak. Hahahaha. Oke. Aku beli. 1. Mau beli 2 nanti ngajak gelut.
Ahh... Intinya itu. Aku tidak bisa mengisi wadah kosong bekas sayur lodehnya dengan sayur yang lebih mewah. Atau menggantinya dengan kue tart warna warni hasil percobaan anak kost yang lagi gabut. Hanya seekor cupang yang..... kalo dimasak pun orang ngga bisa membedakan mana duri mana daging.
Pernah juga ketika itu. Ketika kakiku memijakan kaki di pelataran ibu kota dengan rombongan kampus. Hal lumrah yang mungkin bergejolak di benak semua orang adalah ketika pulang dengan memanggul seonggok oleh-oleh. Hmm lagi-lagi aku lebih memilih pesangonku kugunakan untuk beli rinso dan sabun cuci untuk persiapan sebulan kedepan. Dibanding beli oleh-oleh ketoprak Jakarta yang sekarang dikota manapun bisa dijumpai. Tapi yaa untuk pantes pantes ya sudah, kubeli 5 kotak Moci yang aku tahu dalamnya jelas ngga kaya Moci punya Aice yang gedenya segenggem tangan.
Okey itu kupersembahkan saja buat anak-anak kosku. Dan tau? Aku ngga kepikiran sama sekali buat beli oleh oleh untuknya. Kenapa? Yaa entahlah. Aku tak ada pikiran sama sekali untuk membelikan seseorang. Ya sudah. Aku putar akal saja. Pulang pulang sampe kampus, aku langsung mampir Indomaret. Cari jajan yang asalnya dari ibukota.
Oreo
To be continue ah. Ngantuk
Lagi WFH
to be continue ah.... ngantuk....
.
Komentar
Posting Komentar
minta coment nya donk ^_^